Aturannya kurang lebih masih sama dengan tinju konvensional yang sering kita lihat, hanya saja dalam Real Steel olahraga
keras ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh sutradara dwilogi Night at Museum, Shawn Levy menjadi pertarungan
yang jauh lebih keras, lebih brutal, tanpa ampun bahkan kalau perlu sampai mati, apalagi hebatnya tinju masa depan itu
bukan olahraga ilegal karena saat itu ada para robot rakasasa yang tidak punya rasa sakit untuk menggatikan manusia ujuk
gigi di atas ring.
Adalah Charlie Kenton (Hugh Jackman), mantan petinju dengan masa lalu pahit yang kini beralih profesi menjadi 'promotor' tinju robot kecil-kecilan
yang berkelana dari satu kota ke kota lain hanya untuk sekedar menghancurkan robot-robotnya, membuatnya terbelit lebih banyak hutang, bahkan
hubungannya dengan Bailey Tallet (Evangeline Lilly), temannya sejak kecil yang juga pemilik sasana tinju menjadi renggang. Tapi masalah
terbesarnya baru muncul ketika pada suatu hari seseorang dari masa lalu yang terlupakan hadir kembali di kehidupannya. Ya, orang itu adalah Max
(Dakota Goyo), bocah 11 tahun yang tidak lain tidak bukan adalah putra kandungnya sendiri yang kemudian memaksanya untuk melatih sebuat
robot tongsokan bernama Atom untuk dijadikan robot petarung.
Tahun ini setelah sekuel kedua Transformers yang sempat menghebohkan itu ada Real Steal yang kembali menghadirkan
pertarungan apik robot-robot besi rakasasa. Walaupun keduanya sama-sama beraliran ‘robot’ dan diproduseri oleh seorang
Steven Spielberg, tapi Real Steel jelas berbeda dengan sci-fi milik Michael Bay itu. Bisa dibilang menonton Real Steel 2x
lipat jauh lebih menyenangkan dan menghibur ketimbang melihat duel Autobots dan Decepticons yang membosankan itu.
Shawn Levy yang selama ini kerap menghadirkan film-film spesialis komedi ternyata begitu piawai menghadirkan rangkaian
momen adu jotos super dahsyat antara sesama ‘kaleng besi’ raksasa itu di atas ring tinju super besar yang dipenuhi
ciptratan oli dan kerusakan dimana-mana dalam bakutan visual efek dan robot-robot animatorik seberat 500 Kg yang keren.
tidak hanya itu, ia juga memberinya ‘hati’ dalam kisahnya yang diadaptasi dari “Steel” sebuah cerita pendek yang berusia
setengah abad lebih itu.
pertarungan apik robot-robot besi rakasasa. Walaupun keduanya sama-sama beraliran ‘robot’ dan diproduseri oleh seorang
Steven Spielberg, tapi Real Steel jelas berbeda dengan sci-fi milik Michael Bay itu. Bisa dibilang menonton Real Steel 2x
lipat jauh lebih menyenangkan dan menghibur ketimbang melihat duel Autobots dan Decepticons yang membosankan itu.
Shawn Levy yang selama ini kerap menghadirkan film-film spesialis komedi ternyata begitu piawai menghadirkan rangkaian
momen adu jotos super dahsyat antara sesama ‘kaleng besi’ raksasa itu di atas ring tinju super besar yang dipenuhi
ciptratan oli dan kerusakan dimana-mana dalam bakutan visual efek dan robot-robot animatorik seberat 500 Kg yang keren.
tidak hanya itu, ia juga memberinya ‘hati’ dalam kisahnya yang diadaptasi dari “Steel” sebuah cerita pendek yang berusia
setengah abad lebih itu.
Banyak drama sentimentil menarik disini yang kemudian mendapatkan porsi seimbang di sepanjang 110 menit dengan
adegan-adegan aksinya. Ada tema perjuangan bangkit dari keterpurukan, pencarian jati diri dan penebusan dosa seorang
manusia, from zero to hero layaknya kebayakan film bertema olarhaga, road movie yang diisi oleh hubungan ayah-anak
dengan chemistry kuat antara Jackman dan Dakota Goyo yang tampil luar biasa mampu berperan sebagai ‘”sparring
patner” seimbang Jackman dalam wujud si bocah kecil Max, juga ada sedikit romansa dengan si cantik Evangeline Lilly,
sayang aktris serial televisi populer,‘Lost’ ini pada akhirnya tidak mendapatkan peran yang terlalu signifikan karena
tampaknya Levy ingin memfokuskan segalanya pada trio Jackman-Goyo-Atom. Khusus untuk Atom, Levy tampaknya tahu
benar bagaimana menciptakan sosok robot simpatik, jauh dari kesan kuat dan canggih seperti lawannya, Zeus, bahkan Levy
mampu memberikan ‘jiwa’ tak terlihat dalam diri robot tua itu dengan cara yang elegan, tanpa harus memaksanya berbicara,
cukup hanya dengan sedikit gerakan tarian hip-hop atau sekedar tatapan mata birunya. Ya, Atom hanyalah robot ‘teman
berlatih’ generasi kedua yang dibawa Max dari tempat rongsokan, seakan-akan ia menjadi sebuah metafara untuk mewakili
bahwa terkadang keberanian itu jauh lebih powerfull dari besi paling kuat sekalipun.
adegan-adegan aksinya. Ada tema perjuangan bangkit dari keterpurukan, pencarian jati diri dan penebusan dosa seorang
manusia, from zero to hero layaknya kebayakan film bertema olarhaga, road movie yang diisi oleh hubungan ayah-anak
dengan chemistry kuat antara Jackman dan Dakota Goyo yang tampil luar biasa mampu berperan sebagai ‘”sparring
patner” seimbang Jackman dalam wujud si bocah kecil Max, juga ada sedikit romansa dengan si cantik Evangeline Lilly,
sayang aktris serial televisi populer,‘Lost’ ini pada akhirnya tidak mendapatkan peran yang terlalu signifikan karena
tampaknya Levy ingin memfokuskan segalanya pada trio Jackman-Goyo-Atom. Khusus untuk Atom, Levy tampaknya tahu
benar bagaimana menciptakan sosok robot simpatik, jauh dari kesan kuat dan canggih seperti lawannya, Zeus, bahkan Levy
mampu memberikan ‘jiwa’ tak terlihat dalam diri robot tua itu dengan cara yang elegan, tanpa harus memaksanya berbicara,
cukup hanya dengan sedikit gerakan tarian hip-hop atau sekedar tatapan mata birunya. Ya, Atom hanyalah robot ‘teman
berlatih’ generasi kedua yang dibawa Max dari tempat rongsokan, seakan-akan ia menjadi sebuah metafara untuk mewakili
bahwa terkadang keberanian itu jauh lebih powerfull dari besi paling kuat sekalipun.
Naskah yang ditulis John Gatins memang klise dan ringan, tapi setidaknya mampu bekerja efektif, khususnya di setengah
perjalanannya Real Steel di buka dengan sangat baik, tidak terlalu terburu-buru di saat memperkenalkan karakter-
karakternya, termasuk adegan duel pembukaan antara Ambush vs. Bantengyang menarik itu, atau atau disaat Noisy Boy
diluluhlantakan olwh Midas. Sayang menjelang akhir kisah Real Steel bergerak terlalu cepat dan terkesan dipaksakan karena
keterbatasan durasi, untung saja kelemahan itu mampu ditutup Levy dengan adegan pertarungan final antara Atom vs Zeus
yang spektakuler, membuat saya dan mungkin sebagian penontonnya ikut menahan nafas, merasakan emosi dan atamosfer
luar biasa disaat dua ‘boneka’ metal keren ini bertukar puluhan jab, hook dan uppercut ala petinju profesional di setiap
ronde-ronde mendebarkannya, yang disertai dengan iringan musik latar Danny Elfman yang mampu menghadirkan mood
booster luar biasa. Dan tentu saja seperti kebanyakan film-film bertema olahraga lainnya, Real Steel akan diakhiri oleh bunyi
bel tanda berakhirnya pertandingan dengan dua kemungkinan besar, antara kemenangan super dramatis atau sebuah
kekalahan terhormat, yang mana itu? Tunggu saja sampai anda melihatnya sendiri nanti.
Pada akhirnya saya akan menyebut ” Real Steel is Rocky with robots”. Ia tidak melulu bercerita soal robot yang saling
menghancurkan dengan disertai sugguhan spesial efek canggih beserta adegan-adegan aksinya yang dahysat dan
menghibur, namun Shawn Levy sudah memberinya ‘jiwa’ dalam balutan kisah hubungan ayah-anaknya yang menyentuh.
Walaupun sedikit ‘babak belur’ di penghujung ceritanya, Real Steel tetap adalah sebuah tontonan yang menarik, sulit
rasanya untuk melewatkan film yang kisahnya bahkan mampu ‘meng-TKO’ kan Optimus Prime sekalipun sejak ‘ronde’
pertama dimulai.
No comments:
Post a Comment